motivator

motivator
chandra normansyah putra

unyi berjaya

kekeuatan berasal dari kemantapan
hati








Rabu, 10 Maret 2010

CATATAN AHLI MADYA

Catatan ahli madya (farmasi, keperawatan, kebidanan, fisioterapi)

HypnoBirthing pertama kali dimulai oleh pakar ginekologi Dr. Grantly Dick-Read, yang memplubikasikan buku "Childbirth Without Fear" pada 1944. Terapi HypnoBirthing selanjutnya dikembangkan oleh Marie Mongan, pendiri HypnoBirthing Institute.
Kita tahu Hypnobirthing berasal dari kata hypno (hypnotis/hipnotis) dan birthing (melahirkan) itu berarti melahirkan dengan cara terapi hipnotis. melahirkan dengan teknik ini diharapkan banyak memberi manfaat bagi calon ibu, antara lain rasa nyaman, berkurangnya rasa sakit (bahkan ada yang tidak merasakan sakit sama sekali) hingga rasa bahagia.
Teknik ini mudah dipelajari, melibatkan relaksasi yang mendalam, pola pernapasan lambat dan petunjuk cara melepaskan endorfin dari dalam tubuh (relaksan alami tubuh) yang memungkinkan calon ibu menikmati proses kelahiran yang aman, lembut, cepat dan tanpa proses pembedahan, bahkan bilapun calon ibu harus melalui proses operasi, dia tidak akan merasa takut.
Terapi ini mengajarkan para ibu untuk memahami dan melepaskan Fear-Tension-Pain Syndrome yang seringkali menjadi penyebab kesakitan dan ketidaknyamanan selama proses kelahiran.
HypnoBirthing mengeksplorasi mitos bahwa memang rasa sakit adalah hal yang wajar dan dibutuhkan saat melahirkan normal. Saat perempuan yang melahirkan terbebas dari rasa takut, otot-otot di tubuhnya termasuk otot rahim akan mengalami relaksasi, yang akan membuahkan proses kelahiran yang lebih mudah dan bebas stres. Dan tahapan proses kelahiran juga menjadi lebih pendek, mengurangi kelelahan selama perjuangan melahirkan bayi dan ibu akan tetap segar, penuh energi setelah melahirkan.
sedikit belajar farmakologi yuk...
sekarang tentang psikofarmak, apa itu?? Psikofarmaka = obat psikotropik = Psikotropika. Yaitu Obat yang bekerja secara selektif pada susunan sarap pusat (SSP) dan mempunyai efek efek utama terhadap aktifitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik. Dan mempengaruhi: Proses pikir, Alam perasaan/emosi, Tingkah laku, Penghayatan pribadi manusia
Efek Psikofarmaka
*Efek Primer [Merupakan efek klinis terhadap target yang timbul lebih lambat (dibanding efek sekunder) dan digunakan untuk tujuan terapi, disesuaikan dengan gejala yang mjd sasaran terapi]
*Efek Sekunder [Merupakan efek samping penggunaan psikofarmaka yang muncul lebih dahulu dibanding efek primer dan digunakan untuk tujuan terapi, disesuaikan dengan gejala yang menjadi sasaran terapi]

Macam Psikofarmaka
• Anti-psikotik
• Anti-depresan
• Anti-mania
• Anti-anxietas
• Anti-insomnia
• Anti-obsesifkonfulsif
• Anti Panik

Sebenarnya masih panjang lagi penjelasannya.... (duh tapi udah capek, hehe) kalau ada yang ngelanjutin.... silahkan:):):)



Apotek berasal dari bahasa yunani apotheca yang secara harfiah berarti "penyimpanan". Bila diartikan definisi apotek adalah tempat menjual dan kadang membuat atau meramu obat. Apotek juga merupakan tempat apoteker melakukan praktik profesi farmasi sekaligus menjadi peritel. Dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Salah satu realisasi pembangunan dibidang farmasi oleh pemerintah dan swasta adalah dengan menyediakan sarana pelayanan kesehatan salah satunya adalah apotek.
Apotek yang merupakan suatu jenis bisnis eceran (retail) yang komoditasnya (barang yang diperdagangkan) terdiri dari perbekalan farmasi (obat dan bahan obat) dan perbekalan kesehatan (alat kesehatan). Sebagai perantara, apotek dapat mendistribusikan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan dari supplier kepada konsumen, memiliki beberapa fungsi kegiatan yaitu : pembelian, gudang, pelayanan dan penjualan, keuangan, dan pembukuan, sehingga agar dapat di kelola dengan baik, maka seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA) disamping ilmu kefarmasian yang telah dikuasai, juga diperlukan ilmu lainnya seperti ilmu Pemasaran (marketing) dan ilmu akuntansi (accounting). Apotek bukanlah suatu badan usaha yang semata-mata hanya mengejar keuntungan saja tetapi apotek mempunyai fungsi sosial yang menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin keabsahannya.
Dalam upaya usaha untuk memajukan kesejahteraan umum yang berarti mewujudkan suatu tingkat kehidupan secara optimal, yang memenuhi kebutuhan manusia termasuk kesehatan, tentunya diperlukan suatu “manajemen Perapotekan “ untuk mengelola apotek secara baik dan benar. Sehingga dapat mengelola apotek sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan (stake holder) tanpa harus menghilangkan fungsi sosoialnya di masyarakat.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola apotek adalah:
Lokasi
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi apotek :
a. Letaknya strategis
b. Penduduk yang cukup padat
c. Daerah yang ramai
d. Dekat dengan tempat praktek dokter
e. Keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
Persyaratan administratif
Beberapa hal di bawah ini harus diperhatikan dalam mendirikan suatu apotek, dan harus sudah di lengkapi diantaranya:
a. Fotokopi SIK atau SP
b. Fotokopi KTP dan surat Pernyataan tempat tinggal secara nyata
c. Fotokopi denah bangunan surat yang menyatakan status bangunan dalam bentuk akte hak milik
d. Daftar Asisten Apoteker (AA) dengan mencantumkan nama, alamat, tanggal lulus dan SIK
e. Asli dan fotokopi daftar terperinci alat perlengkapan apotek
f. Surat Pernyataan APA tidak bekerja pada perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di Apotek lain
g. Asli dan fotokopi Surat Izin atas bagi PNS, anggota ABRI dan pegawai instansi pemerintah lainnya
h. Akte Perjanjian kerjasama APA dan PSA
i. Surat Pernyataan PSA tidak terlibat pelanggaran PerUndang-Undangan farmasi
Pemilihan Nama
Pemilihan nama harus sangat di perhatikan, karena ini harus menarik tapi juga harus baik sesuai etika.
Alat dan Perbekalan Farmasi yang diperlukan
Alat dan perbekalan yang diperlukan untuk pendirian suatu apotek adalah :
1. Bangunan, terdiri dari :
a. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien
b. Tempat mendisplai informasi, brosur bagi pasien
c. Ruang tertutup untuk konseling
d. Ruang peracikan dan penyerahan obat
e. Toilet
2. Kelengkapan bangunan apotek
a. Sumber air
b. Sumber penerangan
c. Alat pemadam
d. Ventilasi
e. Sanitasi
f. Papan nama APA
g. Billboard nama apotek
3. Perlengkapan kerja
a. Alat pengolahan / peracikan :
(1) Batang pengaduk
(2) Cawan penguap
(3) Corong
(4) Gelas ukur, gelas piala
(5) Kompor / pemanas
(6) Labu Erlenmeyer
(7) Mortir
(8) Penangas air
(9) Panci
(10) Rak tempat pengering
(11) Spatel logam / tanduk / gelas/ porselen
(12) Thermometer
(13) Timbangan milligram + anak timbangan (ditera)
(14) Timbangan gram + anak timbangan (ditera)
b. Wadah
(1) Pot / botol
(2) Kertas perkamen
(3) Klip dan kantong plastic
(4) Etiket (biru dan putih)
c. Tempat penyimpanan
(1) Lemari / rak obat
(2) Lemari narkotika
(3) Lemari psikotropika
(4) Lemari bahan berbahaya
(5) Kulkas
4. Perlengkapan Administrasi
a. Blanko surat pesanan
b. Blanko faktur penjualan
c. Blanko nota penjualan
d. Blanko salinan resep
e. Blanko laporan narkotika dan psikotropika
f. Buku catatan pembelian
g. Buku catatan penjualan
h. Buku catatan keuangan
i. Buku catatan narkotika dan psikotropika
j. Buku catatan racun dan bahan berbahaya
k. Kartu stok obat
5. Kelengkapan buku pedoman
a. Buku standar yang wajib :
(1) Farmakope Indonesia edisi terakhir
(2) Kumpulan peraturan / UU
b. Buku lainnya :
(1) IMMS, ISO edisi terbaru
(2) Pharmakologi dan terapi
Tenaga Kerja
Selain Apoteker Pengelola Apotek, dibutuhkan beberapa tenaga kerja yaitu :
Asisten Apoteker : 2 orang
Tenaga administrasi / kasir / obat bebas : 1 orang
Pembantu umum : 1 orang
Masing-masing tenaga kerja mempunyai tugas, tanggung jawab dan wewenang sesuai dengan peranannya di dalam apotek.
Strategi Dan Inovasi
Dalam rangka mengembangkan usaha perapotekan ini diperlukan strategi inovasi khusus, sehingga nantinya diharapkan mampu mempertahankan eksistensi apotek ANI Husada dan mampu memajukan apotek dengan membuka cabang-cabang baru di daerah lain. Adapun strategi yang ditempuh antara lain :
1. Menyediakan jasa konseling secara gratis oleh APA.
2. Menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan oleh pasien. Jika obat yang dibutuhkan pasien tidak ada maka berusaha mengambil di apotek lain, diusahakan agar pasien pulang mendapat obat yang diperlukan tanpa copie resep.
3. Monitoring pasien. Monitoring dilakukan terhadap pasien via telepon, terutama untuk pasien dengan penyakit kronis. Hal ini dilakukan untuk mengontrol keadaan pasien dan meningkatkan kepercayaan pasien terhadap apotek.
4. Fasilitas yang menarik. Ruang tunggu dibuat senyaman mungkin dengan fasilitas AC, TV, tempat duduk yang nyaman, majalah kesehatan, Koran dan tabloid serta tempat parkir yang luas.
5. Kerjasama dengan praktek dokter
6. Menerima pelayanan resep dengan sistem antar jemput
Studi Kelayakan Apotek
Ini menyangkut modal, dari mana itu diperoleh, dan membagi modal dalam beberapa bagian, selain itu juga membuat rencana anggaran dan pendapatan , biaya lain lain, proyeksi pendapatan, Perhitungan batas laba / rugi (BEP).
Demikian pembahasan yang dapat kami sampikan semoga bermanfaat.
Penggunaan Anti-Inflamasi Non-Steroid Yang Rasional Pada
Penanggulangan Nyeri Rematik
library.usu.ac.id/download/fk/farmakologi-aznan4.pdf

Aznan Lelo
D. S. Hidayat
Sake Juli

Fakultas Kedokteran
Bagian Farmakologi dan Terapeutik
Universitas Sumatera Utara

Abstrak
Rasa sakit atau nyeri sendi mengundang penderita untuk segera mengobatinya
apakah dengan farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Pada kebanyakan
penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibat
artritis. Obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit
akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetika ini selalu memberikan efek
samping yang kadangkala dapat berakibat fatal.
Efek terapi dan efek samping AINS berhubungan dengan mekanisme kerja
sediaan ini pada enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan
sediaan pro-inflamasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotektor. Oleh karena
AINS dengan selektivitas menghambat COX-2, maka sediaan ini diduga bebas dari
efek samping yang menakutkan pada saluran cerna. Pada kenyataannya, tidak satupun
AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran
cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistem
kardiovaskuler.
Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik
secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera
(dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5)
bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan
interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.

Pendahuluan
Rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas
sehari-hari penderita. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya
apakah dengan upaya farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Farmakoterapi
berawal dengan pemberian analgetika sederhana dan edukasi. Pada kebanyakan
penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibat
artritis. Anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit
akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetik ini selalu memberikan efek
samping yang kadangkala dapat berakibat fatal (Lelo, 2001).
Mengingat bahwa penggunaan AINS akan meningkatkan risiko iatrogenic,
Tamblyn dkk (1997) mengkaji peresepan AINS yang tidak diperlukan. Grup peneliti
ini menemukan bahwa gastropati akibat penggunaan AINS didiagnosa dengan tepat
pada 93,4% kunjungan dan ditanggulangi dengan benar pada 77,4% kunjungan.
Risiko peresepan AINS yang tidak diperlukan lebih besar bila kontraindikasi AINS
tidak dikaji dengan seksama) dan risiko penanggulangan efek samping yang tak benar
makin meningkat akibat masa kunjungan yang lebih singkat.

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
1Untuk melakukan terapi medikamentosa yang rasional pada penderita nyeri
rematik, diperlukan pengertian ringkas tentang:
• mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri
• AINS sebagai antinyeri rematik
• pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik

Mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri
Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer
maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif. Dalam keadaan
patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif.
Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi,
seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat
mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu
menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri.
Berawal dari perubahan fosfolipid menjadi asam arakidonat yang merupakan
substrat bagi enzim prostaglandin endoperoxide synthase (PGHS; COX,
cyclooxygenase) menjadi PGG2, dan reduksi peroxidative PGG2 menjadi PGH2.
Selanjutnya sebagai bahan baku prostaglandin, endoperoxide PGH2 dirubah menjadi
berbagai prostaglandin. Saat ini dikenal dua iso-enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-
2. COX-1 sebagai enzim "constitutive" merubah PGH2 menjadi berbagai jenis
prostaglandin (PGI2, PGE2) dan tromboxan (TXA2) yang dibutuhkan dalam fungsi
homeostatis. COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (macrophage dll), sel
endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai
mekanisme, akan merubah PGH2 menjadi PGE2 yang berperan dalam kejadian
inflamasi, nyeri dan demam. Oleh karena itu COX-2 dikenal sebagai enzim
"inducible". Pada kenyataannya, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat
diinduksi (Lelo, 2001).
Sepuluh tahun yang lalu, Wittenberg dkk (1993) membuktikan bahwa dari
jaringan sinovium dilepaskan berbagai eicosanoid prostaglandin E2 (PGE2), 6-keto-
PGF1 alpha, leukotriene B4 (LTB4), dan LTC4, tapi bukan dari bagian rawan atau
tulang sendi. Grup peneliti ini juga menemukan bahwa diclofenak dan indomethacin
dapat menghambat pembebasan prostaglandin, tanpa mempengaruhi produksi
leukotriene.

AINS sebagai antinyeri rematik
Sediaan AINS yang mampu menghambat sintesis mediator nyeri prostaglandin
mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya.
Oleh karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah
menurut 1). struktur kimia, 2). tingkat keasaman dan 3). ketersediaan awalnya (pro-
drug atau bukan) dan sekarang berdasarkan selektivitas hambatannya pada COX-1
dan COX-2, apakah selektif COX-1 inhibitor, non-selektif COX inhibitor,
preferentially selektif COX-2 inhibitor dan sangat selektif COX-2 inhibiotr.
Khasiat suatu AINS sangat ditentukan kemampuannya menghambat sintesis
prostaglandin melalui hambatan aktivitas COX. Dari penelitian Duffy dkk (2003)
diketahui bahwa kadar PGE2 penderita rematik di plasma berkurang setelah
pemberian diklofenak (dari 28.15 +/- 2.86 ng/mL menjadi 0.85 +/- 2.86 ng/mL setelah
4 jam pemberian) dan nimesulide (dari 24.45 +/- 2.71 ng/mL menjadi 1.74 +/- 2.71
ng/ mL setelah 2 jam pemberian) dan di cairan sinovium berkurang setelah pemberian
diklofenak dan nimesulide (dari 319 +/- 89 pg/mL menjadi 235 +/- 72 pg/mL setelah
4 jam pemberian) bahkan pada pemakaian jangka lama kadar PGE2 di cairan

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2sinovium dapat turun menjadi 61 +/- 24 pg/ mL. Aspirin dan meloxicam juga mampu
menurunkan kadar prostaglandin di darah dan cairan sinovium (Jones dkk, 2002).
Dari berbagai uji klinik pada penderita osteoarthritis ditunjukkan bahwa AINS
baik yang non-selektif (naproxen) maupun selektif menghambat aktivitas COX-2
(celecoxib) berkhasiat dalam mengurangi nyeri rematik (Bensen dkk, 1999). Hasil
temuan yang sama dilaporkan antara rofecoxib dan ibuprofen (Ehrich dkk, 1999) serta
diclofenac (Cannon dkk, 2000). Simon dkk (1999) mengkaji khasiat anti-nyeri
celecoxib dan naproxen pada penderita rheumatoid arthritis. Kelompok peneliti ini
menemukan bahwa kedua AINS ini efektif dalam menanggulangi nyeri dan inflamasi
pada penderita rheumatoid arthritis. Namun, kelihatannya makin lebih selektif suatu
AINS menghambat COX-1 makin berkurang khasiatnya sebagai antiinflamasi, dan
sebaliknya dengan sediaan yang makin lebih selektif menghambat COX-2.
Penggunaan AINS sebagai sediaan analgetika tunggal akan menunjukkan efek
mengatap (ceiling effect). Niederberger dkk (2001) menunjukkan kejadiaan tersebut
pada celecoxib, dimana dengan dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik
yang tidak lebih besar daripada dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih
rendah daripada dosis 200 mg per-hari. Oleh karena semua AINS menunjukkan efek
mengatap (ceiling effect) yang akan membatasi khasiatnya pada penanggulangan
nyeri rematik yang makin meningkat parah, sehingga penggunaan dosis yang lebih
besar dari yang semestinya tidak dianjurkan.

Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik

AINS sebagai antinyeri paling bermanfaat bila nyeri disertai dengan adanya
proses inflamasi. Secara farmakologis, AINS yang diinginkan sebagai antinyeri
rematik adalah sediaan yang sudah terbukti:

1 terdistribusi ke sinovium
Dalam pengobatan radang sendi yang merupakan organ sasaran AINS adalam
membran sinovium. Tangkapan ion AINS (yang umumnya bersifat asam lemah) di
lingkungan intraseluler yang lebih alkalis akan memacu ambilannya di sendi yang
mengalami peradangan. Hal ini jelas akan memberikan nilai tambah dalam khasiat
klinis suatu AINS (Borenstein, 1995). Borenstein (1995) berhasil memantau
keberadaan AINS yang bersifat asam lemah (naproxen, oxaprozin dan piraoxicam) di
sinovium.
Berdasarkan telusuran kepustakaan yang telah dilakukan, sangat terbatas ragam
AINS yang terbukti mampu merembes ke sinovium, diantaranya diclofenac
(Blagbrough dkk,1992; Gallacchi & Marcolongo, 1993 ; Davies & Anderson, 1997),
ibuprofen (Blagbrough dkk,1992), ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001; Audeval-Gerard
dkk, 2000), meloxicam (Davies & Anderson, 1997) dan naproxen (Blagbrough
dkk,1992). Cukup banyak sediaan AINS yang diberikan secara topikal dalam
penanggulangan nyeri inflamasi sendi. Beberapa sediaan AINS diklofenak (Davies &
Anderson, 1997), ketoprofen (Audeval-Gerard dkk, 2000) dan meloxicam (Davies &
Skjodt, 1999) ternyata mampu merembes ke dalam kulit dan sampai ke sinovium.
Secara farmakologis sediaan AINS seperti inilah yang diharapkan akan memberikan
khasiat antinyeri rematik yang nyata.

2 mula kerja AINS yang segera (dini)
Mula kerja obat biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin
cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek AINS muncul. Diklofenak bila

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3diberikan peroral akan diserap dengan cepat dan sempurna (Davies & Anderson,
1997) akan memberikan mula kerja yang segera. Contoh sediaan AINS lain yang juga
cepat penyerapannya adalah asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, nimesulide dan
lainnya.
Selain itu, kerja suatu AINS sangat dipengaruhi oleh distribusinya ke cairan
sinovium. Diklofenak yang terdistribusi ke cairan sinovium menunjukkan hubungan
konsentrasi-efek diklofenak (Davies & Anderson, 1997). Suatu hal yang perlu
menjadi catatan bahwa distribusi AINS ke cairan sinovium akan meningkat pada fase
inflamasi. Misalnya meloxicam, ratio konsentrasi di cairan sinovium / di plasma pada
inflamasi akut (0,58) lebih besar daripada tanpa inflamasi (0,38) (Lapicque dkk,
2000).

3 masa kerja AINS yang lama (panjang)
Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS.
Sebaiknya suatu AINS bekerja lama kalau perlu lebih dari 24 jam sehingga barangkali
cukup diberikan satu kali dalam satu minggu. Salah satu derivate oxicam (meloxicam)
memiliki waktu paruh sekitar 20 jam, membuat sediaan ini layak untuk diberikan
sekali sehari (Davies & Skjodt, 1999). Namun di sisi lain makin panjang waktu paruh
AINS (misalnya t ½ piroxicam = 50 jam atau lebih dari 2 hari 2 malam ) makin
mudah terjadi akumulasi (penumpukan) AINS di dalam tubuh penderita. Apa bila
AINS tersebut diberikan lebih sering, sudah tentu sebagai akibatnya makin mudah
terjadi efek toksik AINS dengan segala resiko.
Upaya untuk memperpanjang masa kerja AINS dengan waktu paruh singkat
(misalnya ibuprofen dan diklofenak) dapat dilakukan merubah formulasinya menjadi
sediaan lepas lambat. Sediaan lepas lambat memiliki kelebihan dalam hal tidak
adanya perubahan waktu paruh sediaan, dengan kata lain secara farmakologis lebih
aman daripada AINS dengan waktu paruh panjang.
Suatu hal yang perlu dicatat adalah apabila suatu sediaan AINS telah
terdistribusi ke sinovium biasanya akan memberikan waktu paruh yang lebih panjang
daripada yang ada di plasma (Audeval-Gerard dkk, 2000). Setelah pemberian
piroxicam (20 mg), kadar AINS di plasma (2.51+/-0.25 microg/ml) lebih tinggi daripa
di cairan sinovium (1.31+/-0.76 microg/ml), tetapi waktu paruh di cairan sinovium
(90.7 h) lebih panjang daripada yang di plasma (32.5 h) (Bannwart dkk, 2001).

4 bahan aktif AINS bukan rasemik
Dalam pengembangan analgetika AINS dari derivate asam propionate akan
selalu dalam bentuk racemik, campuran S-enantiomer dan R-enantiomer. Dari banyak
kajian diketahui bahwa bentuk S-enantiomer memiliki aktivitas biologic AINS yang
nyata dibandingkan bentuk R-enantiomer, misalnya pada ketorolac (Jett dkk, 1999)
dan ketoprofen (Verde dkk, 2001). Dengan kata lain setiap kali dokter meresepkan
ketoprofen sebagai AINS pilihan untuk penderitanya berarti dokter menyuruh
penderita menghabiskan separuh dari dana pengobatan untuk bahan obat yang kurang
berkhasiat R-enantiomer ketoprofen. Setelah pemberian campuran rasemik (S)-(+)-
dan (R)-(-)-ketoprofen, (S)-(+)-ketoprofen merupakan enantiomer utama baik di
plasma maupun di cairan sinovium (Verde dkk, 2001). Namun disposisi ketoprofen di
cairan sinovium tidak bergantung pada steroselektivitas, dimana (S)-(+)-ketoprofen
tidak dirubah menjadi (R)-(-)-ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001).




e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
45 bahan aktif AINS bukan prodrug.
Ada beberapa AINS, misalnya sulindac dan nabumeton, baru akan berkhasiat
sebagai analgetik antiinflamasi apabila AINS tersebut dimetabolisme lebih dahulu
dari bahan yang tidak aktif menjadi metabolit yang aktif.

6 efek samping AINS yang minimal
Dalam penanggulangan rasa sakit dan gejala inflamasi lainnya pada seorang
penderita, kesempatan untuk mengetahui apakah penderita rawan efek samping
OAINS sangat terbatas. Namun harus mempertimbangkan apakah kualitas hidup
penderita setelah mendapat AINS lebih baik dari pada tidak mendapat pengobatan.
AINS memiliki berbagai efek yang merugikan, termasuk efeknya pada saluran cerna
dan ginjal, namun kejadian efek samping ini berbeda diantara AINS yang ada
dipasaran. Perbedaan ini sering menjadi factor utama dalam pemilihan AINS oleh
para dokter. Efek samping AINS yang paling sering terjadi adalah:
• gangguan saluran cerna
Secara klinis, gangguan saluran cerna (apakah sebagai efek topikal atau
sistemik) merupakan efek samping AINS yang paling penting. Bila yang menjadi
permasalahan adalah efek iritasi langsung pada lambung, dapat diberikan sediaan oral
AINS non-acidic, misalnya derivat naftalen (nabumetone) atau derivat pyrazolon
(metamizol), atau AINS dengan pKa mendekati netral, misalnya nimesulide,
celecoxib dan rofecoxib. Usaha lain adalah mengunakan sediaan AINS per-oral
dengan formulasi tertentu (buffered, enteric coated), per-injeksi, per-rectal atau
topical (salep). Namun usaha ini belum mampu menurunkan kejadian tukak lambung.
Meskipun dinyatakan bahwa AINS yang selektif menghambat COX-2
celecoxib dan rofecoxib sangat minimal mencederai mukosa saluran cerna, hasil
kajian Fiorucci dkk (2003) menunjukkan bahwa bila celecoxib digabung dengan
asetosal maka pencederaan mukosa saluran cerna lebih banyak bila diberikan sendiri-
sendiri. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan keparahan kerusakan
mukosa saluran cerna.
• gangguan fungsi ginjal
Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2
celecoxib dan rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran
masing-masing COX-1 dan COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa
hambatan aktivitas COX-2 akan menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu
dapat meninggikan tekanan darah penderita. Lebih lanjut, kejadian edema pada
penderita osteoartritis yang mendapat sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif
COX-2 menunjukkan bahwa makin selektif (rofecoxib, 25 mg) makin nyata kejadian
edemanya dibandingkan yang kurang selektif (celecoxib, 200 mg) (Whelton,2001).
• gangguan sistem kardiovaskuler
Sayangnya efek samping AINS pada sistem kardiovaskuler kurang menjadi
perhatian, seperti diketahui bahwa beberapa AINS mampu memperburuk tekanan
darah penderita hipertensi. Hal ini menjadi lebih berarti mengingat tingginya
persentase penderita hipertensi yang juga mengalami osteoartritis. Pengkajian meta-
analisis sebelumnya oleh Pope dkk (1993) menunjukkan bahwa peninggian mean
arterial pressure pada penderita hipertensi yang mendapat indometasin adalah 3.59
mm Hg dan yang mendapat naproxen adalah 3.74 mm Hg. Sementara perubahan
mean arterial pressure pada mereka yang mendapat ibuprofen (0.83 mm Hg),
piroxicam (0.49 mm Hg), dan sulindac (0.16 mm Hg) relatif sangat minimal. Data
yang ada berkaitan dengan penggunaan AINS dengan hambatan selektif COX-2 pada
tekanan darah penderita hipertensi sangat terbatas. Graves dan Hunder (2000)

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
5menemukan perburukan tekanan darah penderita hipertensi yang mendapat AINS
dengan hambatan selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib dengan peninggian tekanan
darah sistol (18 - 51 mmHg) dan diastole (10 - 22 mmHg) yang cukup besar.
• gangguan pembekuan darah
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa penghambatn COX-1 akan berakibat
terjadinya penurunan produksi tromboxan, yang diikuti dengan perpanjangan waktu
pembekuan darah kemudahan terjadinya perdarahan. AINS konvensional (diklofenak
dan piroksikam) meskipun diberikan dalam bentuk salep (gel) tetap mampu
meningkatkan kejadian efek samping pada pembekuan darah. Penghambat COX-2
celecoxib, nimesulid dan lainnya secara eksperimental tidak mengganggu pembekuan
darah. Namun sampai saat ini baru Crofford dkk (2000) yang melaporkan temuan
mereka adanya trombosis pada penderita yang diobati dengan celecoxib. Bersamaan
dengan meningkatnya proses vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah akibat
makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboxan akan mempermudah
terjadinya serangan jantung pada pemakai AINS dengan penghambatan COX-2 yang
sangat selektif.

7 memberikan interaksi yang minimal
Umumnya semua sediaan AINS akan berikatan kuat dengan protein plasma.
Hal ini akan memberikan dampak tertentu dalam hal interaksinya dengan obat-obatan
lain yang membutuhkan albumin sebagai protein plasma (Lelo, 2001). Interaksi obat
antara AINS dengan beraneka ragam jenis obat selalu memberikan efek yang tak
menguntungkan pada penderita misalnya penggabungan AINS dengan ACE-inhibitor
dapat mengundang terjadinya sinkop. Sementara interaksi AINS terhadap penyakit
penyerta juga dapat berakibat fatal, misalnya penggunaan AINS pada penderita payah
jantung (Lelo, 2001).

8 mekanisme kerja multifactor
Nyeri inflamasi seperti yang dikeluhkan penderita rematik, bukan semata-mata
akibat peningkatan mediatar inflamasi prostaglandin. Berbagai mediator inflamasi
lain (misalnya bradikinin) dan sitokin (TNF-alfa dan interleukin) turut serta
dilepaskan dan berperan serta dalam mencetuskan nyeri inflamasi. Interleukin-1beta,
suatu proinflammatory cytokine, menyebabkan pembebasan secara perlahan PGE2.
Sebaliknya, bradikinin, suatu mediator kimiawi pada inflamasi, memacu pembebasan
PGE2 dengan cepat.
Naproxen, berbeda dari nimesulide, tidak mampu menghambat ekspresi COX-
2 yang dipicu oleh IL-1 beta (Fahmi dkk, 2001). Henrotin dkk (1999) mengkaji efek
diklofenak dan nimesulide terhadap produksi prostaglandin dan sitokin pada
chondrocyte manusia. Grup peneliti ini membuktikan bahwa produksi PGE-2 dan IL-
6 ditekan baik pada chondrocyte yang distumulasi dengan atau tanpa stimulasi IL-1
beta. Pengkajian lanjutan dari grup peneliti ini mendapatkan bahwa seluruh AINS
yang diuji mampu menghambat sintesis PGE-2, sementara diclofenak, indomethacin
dan nimesulide secara bermakna menghambat produksi IL-6 baik dalam keadaan
basal maupun distimulasi dengan IL-1 beta. Celecoxib dan ibuprofen hanya
menghambat produksi IL-6 yang distimulasi dengan IL-1 beta, sedangkan piroxicam
dan rofecoxib tidak menunjukkan efek yang bermakna. Tak satupun dari AINS yang
diuji menunjukkan efek yang bermakna terhadap produksi IL-8 baik dalam keadaan
basal maupun terstimulasi dengan IL-1 beta, kecuali celecoxib dan ibuprofen yang
mampu meningkatkan produksi IL-8 dalam keadaan basal. Sanchez dkk (2002)
berpendapat bahwa mekanisme kerja AINS kelihatannya multifactor dan tidak

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
6terbatas pada kemampuan hambatan aktivitas cyclooxygenase. Efek ini memberikan
nilai tambah dalam pengobatan jangka panjang nyeri rematik.

Kesimpulan

Keluhan rasa sakit merupakan salah alasan dokter dalam pemberian
analgetika, Salah satu analgetika pilihan adalah AINS. Namun, tiap AINS memiliki
kekhasan farmakokinetik (ikatan protein dan waktu paruh) dan farmakodinamik
(potensi dan efek samping), yang merupakan pertimbangan farmakologi sebelum
peresepannya.
Selama khasiat sediaan dengan selektivitas penghambatan COX-2 tidak lebih
superior dibandingkan AINS yang ada, secara farmakologi menggunakan AINS yang
cepat diabsorpsi akan memberikan efek lebih dini, dan sediaan dengan waktu paruh
yang pendek akan terhindar dari kemungkinan akumulasi obat dan dengan demikian
akan memberikan tingkat keamanan yang lebih baik. Pada kenyataannya, tidak
satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada
saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada
sistem kardiovaskuler.
Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik
secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera
(dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5)
bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan
interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.

Kepustakaan

Audeval-Gerard C, Nivet C, el Amrani AI, Champeroux P, Fowler J, Richard S.
Pharmacokinetics of ketoprofen in rabbit after a single topical application. Eur
J Drug Metab Pharmacokinet. 25(3-4):227-30,2000.
Bannwart B, Bertin P, Pehourcq F, Schaeverbeke T, Gillet P, Lefrancois G, Treves R,
Dehais J, Netter P, Gaucher A. Piroxicam concentrations in plasma and
synovial fluid after a single dose of piroxicam-beta-cyclodextrin. Int J Clin
Pharmacol Ther. 39(1):33-6,2001.
Barbanoj MJ, Antonijoan RM, Gich I. Clinical pharmacokinetics of dexketoprofen.
Clin Pharmacokinet. 40(4):245-62,2001.
Bensen WG, Fiechther JJ, McMirren JI, et al. Treatment of osteoarthritis with
celecoxib, a cyclooxygenase-2 inhibitor: a randomized controlled trial. Mayo
Clin Proc 74:1095-105,1999.
Blagbrough IS, Daykin MM, Doherty M, Pattrick M, Shaw PN. High-performance
liquid chromatographic determination of naproxen, ibuprofen and diclofenac
in plasma and synovial fluid in man. J Chromatogr. 578(2):251-7,1992.
Borenstein D. Synovial Tissue, Synovial Fluid, and Plasma Distribution of
Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs: Clinical Implications. Am J Ther.
2(12):978-983,1995.
Cannon GW, Caldwell JR, Holt P, et al. Rofecoxib, a specific inhibitor of
cyclooxygenase 2, with clinical efficacy comparable with that of diclofenac
sodium: results of a one-year, randomized, clinical trial in patients with
osteoarthritis of the knee and hip. Rofecoxib Phase III Protocol O35 Study
Group. Arthritis Rheum 43:978-87,2000.

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
7
doctorology.net » Blog Archive » Antiinflamasi Non-Steroid (AINS)
doctorology.net/?p=197

Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia heterogen menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin dan prekursor tromboksan dari asam arakidonat (Dorland, 2002).

Obat AINS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1899. Obat AINS yang pertama adalah asam asetil salisilat yang diproduksi oleh Felix Hoffman dari Bayer Industries. Berdasarkan saran dari Hermann Dreser, senyawa tersebut diberi nama aspirin yang berasal dari gabungan kata bahasa Jerman untuk senyawa, acetylspirsäure (spirea = nama genus tanaman asal obat tersebut, dan Säure = asam) (Wolfe, et al., 1999; Katzung & Payan, 1998).

Hingga saat ini, obat AINS banyak digunakan sebagai peresepan yang utama. Di banyak negara, obat AINS terutama digunakan untuk gejala yang berhubungan dengan osteoarthritis. Indikasi lain meliputi sindroma nyeri miofasial, gout, demam, dismenore, migrain, nyeri perioperatif, dan profilaksis stroke dan infark miokard. Obat AINS memiliki spektrum luas dalam klinis, sehingga banyak digunakan sebagai peresepan (Harder & An, 2003).

Aktivitas antiinflamasi obat AINS mempunyai mekanisme kerja melalui penghambatan biosintesis prostaglandin. Aspirin dan obat AINS yang lain, menghambat seluruh aktivitas jalur siklooksigenase dan seluruh sintesis prostaglandin. Terdapat 2 bentuk siklooksigenase (COX) yang disebut dengan COX-1 dan COX-2. COX-1 diekspresikan pada mukosa lambung. Prostaglandin mukosa yang dihasilkan oleh COX-1 bersifat protektif terhadap kerusakan yang diinduksi asam. Penghambatan COX-1 dan COX-2 mengurangi inflamasi dengan menghambat sintesis prostaglandin dan juga predisposisi dari ulkus lambung. Untuk mendapatkan efek antiinflamasi dari penghambatan COX dan pencegahan efek merugikan pada mukosa lambung, saat ini telah tersedia COX-2 inhibitor (Mitchell & Cotran, 2003).

Selektivitas terhadap COX-1 dan COX-2 bervariasi dan tidak lengkap. Misal, tes tehadap enzim tikus, aspirin, indometasin, piroksikam, dan sulindak dianggap lebih efektif menghambat COX-1. Ibuprofen dan meklofenamat mempengaruhi COX-1 dan COX-2 sama besarnya. Metabolit aktif nabumeton sedikit agak selektif terhadap COX-2. Celecoxib dan rofecoxib telah dikembangkan lebih selektif terhadap enzim COX-2 (Meade, 1993 cit Katzung & Payan, 1998; Harder & An, 2003).

Selama pengobatan dengan obat AINS, peradangan berkurang dengan menurunnya pelepasan mediator dari granulosit, basofil, dan sel mast. Obat-obat AINS menurunkan kepekaan pembuluh darah terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokindari limfosit T, dan melawan vasodilatasi. Obat-obatan AINS menghambat agregasi trombosit dan bersifat iritasi terhadap lambung (Katzung & Payan, 1998).

Karena pentingnya ulserasi lambung pada penderita yang mendapat dosis antiinflamasi obat AINS, maka perlu dipertimbangkan usaha pencegahan komplikasi atau mengurangi keparahannya. Analog prostaglandin E1 (misoprostol) menghambat sekresi asam lambung pada beberapa dosis dan mungkin juga meningkatkan sekresi faktor pelindung mukosa lambung (misal, bikarbonat). Misoprostol diberikan pada pemakai obat AINS yang mudah mendapat tukak lambung (Katzung & Payan, 1998).

Daftar Pustaka

1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk, penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).

2. Wolfe, M.M., Lichtenstein, D.R. Singh, G. (1999). Gastrointestinal toxicity of nonsteroidal antiinflammatory drugs. The New England Journal of Medicine, 340, 1888-1899.

3. Katzung, B.G., Payan, D.G. (1998). Obat antiinflamasi nonsteroid; analgesik nonopioid; obat yang digunakan pada gout. Dalam B. G. Katzung, Farmakologi dasar dan klinik (6th ed.)(pp.558-582). Jakarta: EGC.

4. Harder, A.T. & An, Y.H. (2003). The mechanisms of the inhibitory effects of nonsteroidal anti-inflammatory drugs on bone healing: a concise review. The Journal of Clinical Pharmacology, 43, 807-815.

5. Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L. Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.

6. Meade, E.A., Smith, W.L., DeWitt, D.L. (1993). Differential inhibition of prostaglandin endoperoxide synthase (cyclooxygenase) isozymes by aspirin and other non-steroidal anti-inflammatory drugs. Journal Biology Chemistry, 268, 6610.
Ketoprofen
1 : 1 campuran (racemate)
Ketoprofen


Systematic ( IUPAC ) name
RS) -2 - (3-benzoylphenyl) propanoat
Pengidentifikasi
Nomor CAS
22071-15-4

Kode ATC
M01 AE03 M01 AE17, M02 AA10

PubChem
3825

DrugBank
APRD01059

Sifat
3693

Data kimia
Formula
C 16 H 14 O 3
Mol. massa
254,281 g / mol
Farmakokinetik Data
Bioavailability
? ?
Protein mengikat
99%
Metabolisme
? ?
Paruh
2-2,5 jam
Ekskresi
? ?
Pertimbangan terapi
Kehamilan kucing.
C (D pada 3rd trimester)
Status hukum
Hanya dengan Resep Dokter
Rute
Oral, topikal, intravena (hewan digunakan)

Ketoprofen, (RS) 2 - (3-benzoylphenyl)-asam propionat (rumus kimia C 16 H 14 O 3) adalah salah satu dari kelas asam propionat non-steroid anti-inflamasi drugs (NSAID) dengan efek analgesik dan antipiretik. Bertindak dengan menghambat produksi prostaglandin tubuh.
Bentuk Sediaan
Ketoprofen tersedia dalam bentuk sediaan:
Tablet : 50 mg, 100 mg, 200 mg
Supositoria : 100 mg
Injeksi : 100 mg/ml-ampul, 100 mg/2ml, 100 mg/vial
Gel : 2,5 mg/g, 25 mg
Ketoprofen atau asam benzoil-hidrotropik mempunyai beberapa nama dagang (seperti yang kami kutip di ISO vol 41-2006) diantaranya: altofen, anrema, fetik, flamed, kaltrofen, ketros, lantiflam, nasaflam, noflam, ovurila E, profecom, profenid gel, pronalges, rematof, rhetoflam, suprafenid.
Indikasi
Ketoprofen dapat digunakan sebagai anti-encok seperti Rematik inflamasi kronik/abartikuler, gout, atritis akut, osteoatritis, rematoid atritis, skiatika, dan nyeri pada punggung bawah
Ketoprofen umumnya diresepkan untuk arthritis inflamasi yang berhubungan dengan nyeri atau sakit gigi yang parah yang mengakibatkan radang gusi.
Ketoprofen dapat juga digunakan untuk mengobati rasa sakit, terutama nyeri saraf seperti neuralgia pasca-herpes untuk radiculopathy, dalam bentuk krim, salep, cair, semprot, atau gel yang juga berisi Ketamine dan lidokain, bersama dengan agen lain yang mungkin berguna seperti cyclobenzaprine, amitryptiline, asiklovir, gabapentin, orphenadrine dan obat lain yang digunakan untuk pengobtan sebagai NSAID atau ajuvan, atipikal atau nyeri potensiator.
Efektifitas
Hasil bervariasi dalam setiap kasus, dengan berbagai tingkat atenuasi yang terbakar, kesemutan, dan / atau komponen penembakan neuralgis yang cukup sering sakit, bersama dengan pengurangan sederhana di tingkat rasa sakit secara keseluruhan dalam beberapa kasus. Pada kasus yang parah dan yang melibatkan beberapa kondisi di samping penyebab neuralgia, di sana tidak ada pengganti untuk terapi paliatif komprehensif termasuk NSAID sistemik, opioid, relaksan otot, berselang kortikosteroid dan agen-agen lain jika diperlukan dan adjuncts & potensiator untuk meningkatkan kekuatan dengan analgesik di samping persiapan dan topikal dan alternatif modalitas fisik seperti fisioterapi, akupuntur, biofeedback & terkait modalitas, pendekatan nutrisi dan banyak orang lain yang relevan untuk setiap kasus. Bahkan penambahan opioid tramadol untuk persiapan topikal tidak diketahui untuk menjadi pengganti yang memadai sistemik opioid dalam kasus di mana mereka dapat berguna dan mujarab (http://en.wikipedia.org/wiki/Ketoprofen)
Penggunaan pada kuda dan hewan lainnya
Ketoprofen (Ketofen) adalah NSAID umum, antipiretik, dan analgesik yang digunakan dalam Kuda kuda dan lainnya. Hal ini juga digunakan sebagai obat penghilang rasa sakit ringan hewan yang lebih kecil, umumnya mengikuti prosedur pembedahan. Hal ini paling sering digunakan untuk muscoskeletal rasa sakit, masalah bersama, dan cedera jaringan lunak, serta laminitis. Itu tidak mengobati masalah yang mendasari, tidak pula mempercepat proses penyembuhan. Hal ini juga digunakan untuk mengendalikan dan mencegah demam endotoxemia. Namun, mereka dapat menutupi gejala dari masalah yang mendasari, dan karena itu membuat diagnosis lebih sulit bagi seorang dokter hewan.
Efek samping dan tindakan pencegahan
Efek samping yang relatif tidak umum jika digunakan seperti yang dianjurkan, dan kurang umum biasa digunakan NSAID: flunixin atau phenylbutazone. Efek samping meliputi ulkus gastrointestinal, penurunan jumlah sel darah merah (akibat pendarahan GI), dan jarang kerusakan ginjal, protein kerugian, dan gangguan perdarahan. Itu karenanya harus digunakan dengan hati-hati pada kuda dengan hati atau penyakit ginjal, atau masalah pencernaan. Selain itu, tidak boleh digunakan pada kuda alergi terhadap aspirin.
Penggunaan dengan obat lain
Ketoprofen tidak boleh digunakan dalam dengan NSAID atau kortikosteroid lainnya, karena hal ini meningkatkan risiko ulserasi GI. Ini juga harus digunakan dengan hati-hati dengan antikoagulan lain. Hal ini umumnya digunakan dengan omeprazol, sucralfate, dan simetidin untuk membantu melindungi saluran GI.
Pemberian/ pemakaian
Ketoprofen diberi label yang akan diberikan intravena saja, dan dianjurkan untuk maksimum lima hari digunakan. Efek analgesik dan antipiretik mulai terjadi 1-2 jam pemberian berikutnya.. Dosis yang paling umum adalah 10 mg / lb, sekali per hari, meskipun hal ini dapat menurunkan dosis untuk kuda, yang paling rentan terhadap efek samping NSAID.

Kaltrofen

Kaltrofen® adalah obat yang mengandung ketoprofen dan termasuk dalam golongan obat anti inflamasi non steroid (AINS), derivat asam propionat. Obat anti inflamasi non steroid merupakan obat yang mempunyai efek analgesik (penghilang rasa sakit), antipiretik (penurun panas) dan antiinflamasi (menghilangkan pembengkakan).

Seperti obat golongan AINS lain, maka Kaltrofen® juga mempunyai efek analgesik, antipiretik dan juga antiinflamasi. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara menghambat sintesa prostaglandin, yang merupakan suatu zat yang dapat menyebabkan inflamasi.

Kaltrofen® diindikasikan untuk menekan berbagai reaksi inflamasi yang dihubungkan dengan nyeri dan demam. Seperti pada penyakit sendi (rematoid artritis dan osteoartritis), penyakit gigi dan mulut, paska bedah, paska trauma dan paska persalinan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji efektifitas dan keamanan dari pemakaian ketoprofen. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Patel RK, yang dimuat dalam Clinical Therapy, 1996. Penelitian ini membandingkan efektifitas dan toleransi dari pemberian topikal ketoprofen gel (2,5 %), piroksikam gel (0,5 %) dan diklofenak gel (1 %), 3 kali sehari, selama 5 hari, pada pengobatan luka akut jaringan lunak. Penelitian ini dilakukan secara acak, terbuka dan multisenter. Jumlah pasien total adalah 1575. Ternyata ketoprofen gel lebih baik daripada piroksikam gel (Perbaikan terjadi pada 74 % pasien yang mendapat ketoprofen gel dibandingkan 65 % pasien yang mendapat piroksikam gel). Demikian juga perbaikan luka lebih baik pada ketoprofen gel dibandingkan diklofenak gel (38 % vs 30 %).

Penelitian lain dilakukan oleh Bjornsson GA dkk di Norway pada tahun 2003. Penelitian ini dilakukan secara acak, buta ganda dan uji silang pada pasien yang menjalani operasi gigi molar ketiga, dengan menggunakan ketoprofen 75 mg dan asetaminofen 1000 mg, 4 kali sehari, selama 3 hari. Ternyata ketoprofen 27 % lebih baik daripada asetaminofen dalam mengurangi pembengkakan 3 hari setelah operasi. Juga lebih baik dalam mengurangi nyeri setelah 2 dan 6 jam pemberian. Sedang efek samping yang ditemukan pada kedua grup adalah sama, yaitu nyeri perut dan diare.

PT Kalbe Farma memproduksi 4 macam sediaan kaltrofen®, yaitu :

1. Tablet regular release 50 mg dan 100 mg, yang diberikan 3 kali sehari.
Tablet sustained release 200 mg, yang diberikan 1 kali sehari.
2. Suppositoria 100 mg, yang diberikan 1-2 kali sehari.
3. Injeksi 100 mg/2 ml
4. Topikal, jelli 30 gram (0,025 gram ketoprofen/gram).

Berbagai bentuk sediaan tersebut dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Sediaan tablet sustain release akan lebih nyaman digunakan karena cukup 1 kali minum perhari. Selain itu juga telah disediakan bentuk gel yang lebih praktis dalam pemakaiannya. Bentuk sediaan topikal dapat digunakan untuk :

1. Trauma ringan, seperti trauma yang disebabkan oleh cedera olah raga, terkilir, pembengkakan.
2. Nyeri paska trauma.

Daftar Pustaka:
ISO vol 41-2006
http://en.wikipedia.org/wiki/Ketoprofen
materi kuliah farmakologi arga husada pare
Kaltrofen (kalbe farma)
Persyaratan Jarak Minimal Antar Apotek
by miftahurrahman, A. romly, maria ab, suhartatik

Latar Belakang
Banyaknya apotek yang berdiri dimana-mana kadang menimbulkan polemik, dimana sebagian besar diantaranya cenderung berkumpul pada suatu tempat. Kecenderungan ini rupanya sudah menjadi kebiasaan kita. Tidak perlu jauh-jauh, kita mengambil contoh di kota kita Pare, kita lihat di jalan Letjen Sutoyo (jalan kandangan) ada banyak apotek yang berdiri jarak antar apotek tidak sampai 100 meter. Kami banyak membaca keluhan-keluhan apoteker di internet dimana permohonan izin mereka mendirikan apotek baru kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dalam hal ini Direktorat Pelayanan Kefarmasian & Alat Kesehatan banyak yang dikembalikan karena tidak memenuhi persyaratan perizinan pendirian apotek baru. Bahkan ISFI sendiri mengatur jarak antar apotek agar tidak terkonsentrasi pada suatu tempat. Lalu berapa sebenarnya persyaratan jarak minimal antar apotek? Disini kami dari kelompok 1 akan menerangkan dan menjelaskan jarak minimal antar apotek

Pembahasan
Seperti dalam forum yang kami baca di http://apotekkita.com/tag/jarak-antar-apotek/ ada apoteker yang menanyakan perihal pengaturan jarak antar apotek oleh ISFI kaitannya dengan UU no 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dengan mengacu UU tersebut, seorang apoteker berpendapat aturan yang dibuat ISFI berpotensi melanggar UU, khususnya pasal 9 yang berbunyi : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Kita tahu ISFI mengatur jarak adalah upaya menghindari terkonsentrasinya beberapa apotek dalam satu wilayah, karena berkumpulnya apotek pada suatu tempat akan berpotensi terjadi persaingan tidak sehat “memang sih dalam kode etik apoteker, seorang apoteker harus memperlakukan teman sejawat sebagaimana ia sendiri dan menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan semata” ini sebenarnya sudah bisa dipakai sebagai koridor moral untuk bersaing.
UU no 5/1999 menjabarkan persaingan usaha tidak sehat sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Sementara itu pasal 2 UU no5/1999 tentang asas berbunyi : Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Sedangkan tujuan (pasal 3) pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
3. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
sebenarnya jarak antar apotek satu dengan yang lain tidak terlalu diatur secara terperinci dalam undang-undang ataupun peratutran pemerintah, jarak antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan. Selain itu diharuskannya antar apotek terpisah sebenarnya menguntungkan apotek itu sendiri karena pelayanan akan efektif. Standarnya jarak minimal antar apotek satu dengan yang lain seharusnya 300 meter (namun standar tiap daerah bias berbeda), agar mendapatkan rekomendasi ISFI untuk berdirinya apotek baru. Dengan mendapatkan rekomendasi ISFI maka ini akan memudahkan pemberian izin permohonan apotek baru. Dalam PP No. 51 pasal 35 ayat 2 disebutkan “Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan pada Standar Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan” yang nantinya akan menghasilkan “good distribution practice” dan pada sarana pelayanan yang baik “good pharmacy practice”
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kami dapat menyimbulkan bahwa sebagai berikut:
1. Walaupun jarak antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun sebaiknya tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat dengan kendaraan.
2. Selama tetap berpegang pada koridor kode etik apoteker sebenarnya jarak yang berdekatan antar apotek sebenarnya tidak menjadi masalah.
3. Standar persyaratan minimal jarak antar apotek seharusnya minimal 300 meter bila di perlukan.
4. Dalam melaksanakan kewenangan harus didasarkan pada Standar Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan yang nantinya akan menghasilkan “good distribution practice” dan pada sarana pelayanan yang baik “good pharmacy practice”

Demikian pembahasan dari “kelompok 1” yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat untuk kita semua.


Daftar pustaka:
http://apotekkita.com/tag/jarak-antar-apotek/
• dialog ISFI Indonesia
• PP No. 51 Tahun 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
• Management apotek, drs Handono NDW, apt
• Kumpulan peraturan perundangan apotek, fakultas farmasi unair
• UU no 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
Pemeriksaan pada sistem pencernaan:
Pemeriksaan Kerongkongan
  1. Pemeriksaan barium.
    Penderita menelan barium dan perjalanannya melewati kerongkongan dipantau melalui fluoroskopi (teknik rontgen berkesinambungan yang memungkinkan barium diamati atau difilmkan).
    Dengan fluoroskopi, dokter bisa melihat kontraksi dan kelainan anatomi kerongkongan (misalnya penyumbatan atau ulkus). Gambaran ini seringkali direkam pada sebuah film atau kaset video.

    Selain cairan barium, bisa juga digunakan makanan yang dilapisi oleh barium, sehingga bisa ditentukan lokasi penyumbatan atau bagian kerongkongan yang tidak berkontraksi secara normal.

    Cairan barium yang ditelan bersamaan dengan makanan yang dilapisi oleh barium bisa menunjukkan kelainan seperti:
    - selaput kerongkongan (dimana sebagian kerongkongan tersumbat oleh jaringan fibrosa)
    - divertikulum Zenker (kantong kerongkongan)
    - erosi dan ulkus kerongkongan
    - varises kerongkongan
    - tumor.
  2. Manometri.
    Manometri adalah suatu pemeriksaan dimana sebuah tabung dengan alat pengukur tekanan dimasukkan ke dalam kerongkongan.
    Dengan alat ini (alatnya disebut manometer) dokter bisa menentukan apakah kontraksi kerongkongan dapat mendorong makanan secara normal atau tidak.
  3. Pengukuran pH kerongkongan.
    Mengukur keasaman kerongkongan bisa dilakukan pada saat manometri.
    Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah terjadi refluks asam atau tidak.
  4. Uji Bernstein (Tes Perfusi Asam Kerongkongan).
    Pada pemeriksaan ini sejumlah kecil asam dimasukkan ke dalam kerongkongan melalui sebuah selang nasogastrik.
    Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah nyeri dada disebabkan karena iritasi kerongkongan oleh asam dan merupakan cara yang baik untuk menentukan adanya peradangan kerongkongan (esofagitis).


Intubasi

Intubasi adalah memasukkan sebuah selang plastik kecil yang lentur melalui hidung atau mulut ke dalam lambung atau usus halus.

Prosedur ini bisa digunakan untuk keperluan diagnostik maupun pengobatan.
Intubasi bisa menyebabkan muntah dan mual, tetapi tidak menimbulkan nyeri.
Ukuran selang yang digunakan bervariasi, tergantung kepada tujuan dilakukannya prosedur ini (apakah untuk diagnosik atau pengobatan).
  1. Intubasi Nasogastrik.
    Pada intubasi nasogastrik, sebuah selang dimasukkan melalui hidung menuju ke lambung.
    Prosedur ini digunakan untuk mendapatkan contoh cairan lambung, untuk menentukan apakah lambung mengandung darah atau untuk menganalisa keasaman, enzim dan karakteristik lainnya.
    Pada korban keracunan, contoh cairan lambung ini dianalisa untuk mengetahui racunnya. Kadang selang terpasang agak lama sehingga lebih banyak contoh cairan yang bisa didapat.

    Intubasi nasogastrik juga bisa digunakan untuk memperbaiki keadaan tertentu:
    - Untuk menghentikan perdarahan dimasukkan air dingin
    - Untuk memompa atau menetralkan racun diberikan karbon aktif
    - Pemberian makanan cair pada penderita yang mengalami kesulitan menelan.

    Kadang intubasi nasogastrik digunakan secara berkesinambungan untuk mengeluarkan isi lambung. Ujung selang biasanya dihubungkan dengan alat penghisap, yang akan mengisap gas dan cairan dari lambung.
    Cara ini membantu mengurangi tekanan yang terjadi jika sistem pencernaan tersumbat atau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
  2. Intubasi Nasoenterik.
    Pada intubasi nasoenterik, selang yang dimasukkan melalui hidung lebih panjang, karena harus melewati lambung untuk menuju ke usus halus.
    Prosedur ini bisa digunakan untuk:
    - mendapatkan contoh isi usus
    - mengeluarkan cairan
    - memberikan makanan.

    Sebuah selang yang dihubungkan dengan suatu alat kecil di ujungnya bisa digunakan untuk biopsi (mengambil contoh jaringan usus halus untuk diperiksa secara mikroskopik atau untuk analisa aktivitas enzim).
Lambung dan usus halus tidak dapat merasakan nyeri, sehingga kedua prosedur diatas tidak menimbulkan nyeri.


Endoskopi

Endoskopi adalah pemeriksaan struktur dalam dengan menggunakan selang/tabung serat optik yang disebut endoskop.

Endoskop yang dimasukkan melalui mulut bisa digunakan untuk memeriksa:
- kerongkongan (esofagoskopi)
- lambung (gastroskopi)
- usus halus (endoskopi saluran pencernaan atas).
Jika dimasukkan melalui anus, maka endoskop bisa digunakan untuk memeriksa:
- rektum dan usus besar bagian bawah (sigmoidoskopi)
- keseluruhan usus besar (kolonoskopi).

Diameter endoskop berkisar dari sekitar 0,6 cm-1,25 cm dan panjangnya berkisar dari sekitar 30 cm-150 cm.
Sistem video serat-optik memungkinkan endoskop menjadi fleksibel menjalankan fungsinya sebagai sumber cahaya dan sistem penglihatan.
Banyak endoskop yang juga dilengkapi dengan sebuah penjepit kecil untuk mengangkat contoh jaringan dan sebuah alat elektronik untuk menghancurkan jaringan yang abnormal.

Dengan endoskop dokter dapat melihat lapisan dari sistem pencernaan, daerah yang mengalami iritasi, ulkus, peradangan dan pertumbuhan jaringan yang abnormal. Biasanya diambil contoh jaringan untuk keperluan pemeriksaan lainnya.

Endoskop juga bisa digunakan untuk pengobatan. Berbagai alat yang berbeda bisa dimasukkan melalui sebuah saluran kecil di dalam endoskop:
Elektrokauter bisa digunakan untuk menutup suatu pembuluh darah dan menghentikan perdarahan atau untuk mengangkat suatu pertumbuhan yang kecil
- Sebuah jarum bisa digunakan untuk menyuntikkan obat ke dalam varises kerongkongan dan menghentikan perdarahannya.

Sebelum endoskop dimasukkan melalui mulut, penderita biasanya dipuasakan terlebih dahulu selama beberapa jam. Makanan di dalam lambung bisa menghalangi pandangan dokter dan bisa dimuntahkan selama pemeriksaan dilakukan.
Sebelum endoskop dimasukkan ke dalam rektum dan kolon, penderita biasanya menelan obat pencahar dan enema untuk mengosongkan usus besar.

Komplikasi dari penggunaan endoskopi relatif jarang.
Endoskopi dapat mencederai atau bahkan menembus saluran pencernaan, tetapi biasanya endoskopi hanya menyebabkan iritasi pada lapisan usus dan perdarahan ringan.


Laparoskopi

Laparoskopi adalah pemeriksaan rongga perut dengan menggunakan endoskop

Laparoskopi biasanya dilakukan dalam keadaan penderita terbius total.
Setelah kulit dibersihkan dengan antiseptik, dibuat sayatan kecil, biasanya di dekat pusar. Kemudian endoskop dimasukkan melalui sayatan tersebut ke dalam rongga perut.

Dengan laparoskopi dokter dapat:
- mencari tumor atau kelainan lainnya
- mengamati organ-organ di dalam rongga perut
- memperoleh contoh jaringan
- melakukan pembedahan perbaikan.


Rontgen
  1. Foto polos perut.
    Foto polos perut merupakan foto rontgen standar untuk perut, yang tidak memerlukan persiapan khusus dari penderita.
    Sinar X biasanya digunakan untuk menunjukkan:
    - suatu penyumbatan
    - kelumpuhan saluran pencernaan
    - pola udara abnormal di dalam rongga perut
    - pembesaran organ (misalnya hati, ginjal, limpa).
  2. Pemeriksaan barium.
    Setelah penderita menelan barium, maka barium akan tampak putih pada foto rontgen dan membatasi saluran pencernaan, menunjukkan kontur dan lapisan dari kerongkongan, lambung dan usus halus.
    Barium yang terkumpul di daerah abnormal menunjukkan adanya ulkus, erosi, tumor dan varises kerongkongan.

    Foto rontgen bisa dilakukan pada waktu-waktu tertentu untuk menunjukkan keberadaan barium. Atau digunakan sebuah fluoroskop untuk mengamati pergerakan barium di dalam saluran pencernaan. Proses ini juga bisa direkam.

    Dengan mengamati perjalanan barium di sepanjang saluran pencernaan, dokter dapat menilai:
    - fungsi kerongkongan dan lambung
    - kontraksi kerongkongan dan lambung
    - penyumbatan dalam saluran pencernaan.

    Barium juga dapat diberikan dalam bentuk enema untuk melapisi usus besar bagian bawah. Kemudian dilakukan foto rontgen untuk menunjukkan adanya polip, tumor atau kelainan struktur lainnya.
    Prosedur ini bisa menyebabkan nyeri kram serta menimbulkan rasa tidak nyaman.

    Barium yang diminum atau diberikan sebagai enema pada akhirnya akan dibuang ke dalam tinja, sehingga tinja tampak putih seperti kapur.
    Setelah pemeriksaan, barium harus segera dibuang karena bisa menyebabkan sembelit yang berarti. Obat pencahar bisa diberikan untuk mempercepat pembuangan barium.


Parasentesis

Parasentesis adalah memasukkan jarum ke dalam rongga perut dan mengambil cairannya.

Dalam keadaan normal, rongga perut diluar saluran pencernaan hanya mengandung sejumlah kecil cairan. Cairan bisa terkumpul dalam keadaan-keadaan tertentu, seperti perforasi lambung atau usus, penyakit hati, kanker atau pecahnya limpa.
Parasentesis digunakan untuk memperoleh contoh cairan untuk keperluan pemeriksaan atau untuk membuang cairan yang berlebihan.

Pemeriksaan fisik (kadang disertai dengan USG) dilakukan sebelum parasentesis untuk memperkuat dugaan bahwa rongga perut mengandung cairan yang berlebihan.
Selanjutnya daerah kulit (biasanya tepat dibawah pusar) dibersihkan dengan larutan antiseptik dan dibius lokal. Melalui kulit dan otot dinding perut, dimasukkan jarum yang dihubungkan dengan tabung suntik ke dalam rongga perut dimana cairan terkumpul.
Sejumlah kecil cairan diambil untuk pemeriksaan laboratorium atau sampai 0,96 liter cairan diambil untuk mengurangi pembengkakan perut.


USG Perut

USG menggunakan gelombang udara untuk menghasilkan gambaran dari organ-organ dalam.
USG bisa menunjukkan ukuran dan bentuk berbagai organ (misalnya hati dan pankreas) dan juga bisa menunjukkan daerah abnormal di dalamnya.

USG juga dapat menunjukkan adanya cairan.
Tetapi USG bukan alat yang baik untuk menentukan permukaan saluran pencernaan, sehingga tidak digunakan untuk melihat tumor dan penyebab perdarahan di lambung, usus halus atau usus besar.

USG merupakan prosedur yang tidak menimbulkan nyeri dan tidak memiliki resiko.
Pemeriksa menekan sebuah alat kecil di dinding perut dan mengarahkan gelombang suara ke berbagai bagian perut dengan menggerakkan alat tersebut. Gambaran dari organ dalam bisa dilihat pada layar monitor dan bisa dicetak atau direkam dalam filem video.


Pemeriksaan Darah Samar

Perdarahan di dalam saluran pencernaan dapat disebabkan baik oleh iritasi ringan maupun kanker yang serius.
Bila perdarahannya banyak, bisa terjadi muntah darah, dalam tinja terdapat darah segar atau mengeluarkan tinja berwarna kehitaman (melena).

Jumlah darah yang terlalu sedikit sehingga tidak tampak atau tidak merubah penampilan tinja, bisa diketahui secara kimia; dan hal ini bisa merupakan petunjuk awal dari adanya ulkus, kanker dan kelainan lainnya.

Pada pemeriksaan colok dubur, dokter mengambil sejumlah kecil tinja . Contoh ini diletakkan pada secarik kertas saring yang mengandung zat kimia. Setelah ditambahkan bahan kimia lainnya, warna tinja akan berubah bila terdapat darah.

sumber: http://medicastore.com/penyakit/19/Pemeriksaan_Diagnostik_Untuk_Saluran_Pencernaan.html

Pemeriksaan Pada Sistem Pernapasan
Pemeriksaan pernapasan merupakan salah satu bagian penting dalam menilai keadaan pasien. Jumlah pernapasan tiap menit dapat digunakan sebagai indikator keadaan pasien dan mungkin digunakan sebagai rujukan untuk menentukan tindakan medis lanjut pada pasien.
Sebagai acuan frekwensi pernapasan normal adalah Bayi 25 – 50 kali tiap menit, Anak-anak 15 – 30 kali tiap menit, Dewasa 12 – 20 kali tiap menit. Namun keadaan lingkungan banyak mempengaruhi seperti pada daerah dataran tinggi mungkin akan berbeda.
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002
Tentang Perubahan Atas Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik

2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1331/MENKES/SK/X/2002
Tentang Perubahan Atas Permenkes 167/Kab/B.VII/1972 Tentang Pedagang Eceran Obat

3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1424/MENKES/SK/XI/2002
Pedoman Penyelenggaraan Optikal

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 920/Menkes/SK/I/1996
Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik

5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 04/MENKES/SK/I/2002
Laboratorium Kesehatan Swasta

6. Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004
Undang-Undang Praktik Kedokteran

7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007
Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002
Registrasi dan Praktik Bidan

9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001
Registrasi Dan Praktik Perawat

10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 679/MENKES/SK/V/2003
Registrasi Dan Izin Kerja Asisten Apoteker

11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 544/MENKES/SK/VI/2002
Registrasi Dan Izin Kerja Refraksionis Optisien

12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1392/Menkes/SK/XII/2001
Registrasi Dan Izin Kerja Perawat Gigi

13. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1363/MENKES/SK/XII/2001
Registrasi Dan Izin Praktik Fisioterapis

14. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003
Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional

(semoga bermanfaat iya...)

PP No. 51 Tahun 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. 2. Sediaan . . . -2- 2. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. 3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. 4. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. 5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. 6. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. 7. Fasilitas Kesehatan adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. 8. Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian. 9. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika. 10. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi. 11. Fasilitas . . . -3- 11. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama. 12. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 13. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. 14. Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas dan obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran. 15. Standar Profesi adalah pedoman untuk menjalankan praktik profesi kefarmasian secara baik. 16. Standar Prosedur Operasional adalah prosedur tertulis berupa petunjuk operasional tentang Pekerjaan Kefarmasian. 17. Standar Kefarmasian adalah pedoman untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan kefarmasian. 18. Asosiasi adalah perhimpunan dari perguruan tinggi farmasi yang ada di Indonesia. 19. Organisasi Profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di Indonesia. 20. Surat . . . -4- 20. Surat Tanda Registrasi Apoteker selanjutnya disingkat STRA adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. 21. Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian selanjutnya disingkat STRTTK adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah diregistrasi. 22. Surat Izin Praktik Apoteker selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit. 23. Surat Izin Kerja selanjutnya disingkat SIK adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran. 24. Rahasia Kedokteran adalah sesuatu yang berkaitan dengan praktek kedokteran yang tidak boleh diketahui oleh umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 25. Rahasia Kefarmasian adalah Pekerjaan Kefarmasian yang menyangkut proses produksi, proses penyaluran dan proses pelayanan dari Sediaan Farmasi yang tidak boleh diketahui oleh umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. 26. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan. Pasal 2 . . . -5Pasal 2 (1) Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi. (2) Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pasal 3 Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Pasal 4 Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk: a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian; b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan; dan c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga Kefarmasian. BAB II . . . -6- BAB II PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN Bagian Kesatu Umum Pasal 5 Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi: a. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi; b. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi; c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi; dan d. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi. Bagian Kedua Pekerjaan Kefarmasian Dalam Pengadaan Sediaan Farmasi Pasal 6 (1) Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas distribusi atau penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi. (2) Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh Tenaga kefarmasian. (3) Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiat Sediaan Farmasi. (4) Ketentuan . . . -7- (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Pekerjaan Kefarmasian Dalam Produksi Sediaan Farmasi Pasal 7 (1) Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi harus memiliki Apoteker penanggung jawab. (2) Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian. Pasal 8 Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika. Pasal 9 (1) Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi. (2) Industri . . . -8- (2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 10 Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 11 (1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) harus menetapkan Standar Prosedur Operasional. (2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses produksi dan pengawasan mutu Sediaan Farmasi pada Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pasal 13 . . . -9- Pasal 13 Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang produksi dan pengawasan mutu. Bagian Keempat Pekerjaan Kefarmasian Dalam Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi Pasal 14 (1) Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab. (2) Apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 15 Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 harus memenuhi ketentuan Cara Distribusi yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 16 . . . -10 - Pasal 16 (1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 harus menetapkan Standar Prosedur Operasional. (2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 17 Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses distribusi atau penyaluran Sediaan Farmasi pada Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pasal 18 Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang distribusi atau penyaluran. Bagian Kelima Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Pasal 19 Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa : a. Apotek; b. Instalasi . . . -11 b. Instalasi farmasi rumah sakit; c. Puskesmas; d. Klinik; e. Toko Obat; atau f. Praktek bersama. Pasal 20 Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian. Pasal 21 (1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian. (2) Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker. (3) Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut jenis Fasilitas Pelayanan Kefarmasian ditetapkan oleh Menteri. (5) Tata cara penempatan dan kewenangan Tenaga Teknis Kefarmasian di daerah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 22 . . . -12 - Pasal 22 Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 23 (1) Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus menetapkan Standar Prosedur Operasional. (2) Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat: a. mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA; b. mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien; dan c. menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 25 . . . -13 Pasal 25 (1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. (2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan. (3) Ketentuan mengenai kepemilikan Apotek sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 (1) Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dilaksanakan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki STRTTK sesuai dengan tugas dan fungsinya. (2) Dalam menjalankan praktek kefarmasian di Toko Obat, Tenaga Teknis Kefarmasian harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian di Toko Obat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Pelayanan Kefarmasian di Toko Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan standar pelayanan kefarmasian di toko obat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 27 . . . -14 - Pasal 27 Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan pelayanan farmasi pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pasal 28 Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Rahasia Kedokteran Dan Rahasia Kefarmasian Pasal 30 (1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam menjalankan Pekerjaan Kefarmasian wajib menyimpan Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian. (2) Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian hanya dapat dibuka untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan hakim dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan . . . -15 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rahasia Kedokteran dan Rahasia Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Kendali Mutu dan Kendali Biaya Pasal 31 (1) Setiap Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian wajib menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya. (2) Pelaksanaan kegiatan kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui audit kefarmasian. Pasal 32 Pembinaan dan pengawasan terhadap audit kefarmasian dan upaya lain dalam pengendalian mutu dan pengendalian biaya dilaksanakan oleh Menteri. BAB III TENAGA KEFARMASIAN Pasal 33 (1) Tenaga Kefarmasian terdiri atas: a. Apoteker; dan b. Tenaga Teknis Kefarmasian. (2) Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Pasal 34 . . . -16 Pasal 34 (1) Tenaga Kefarmasian melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada: a. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu; b. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan alat kesehatan melalui Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi Sediaan Farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota; dan/atau c. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik di Apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 35 (1) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 harus memiliki keahlian dan kewenangan dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian. (2) Keahlian dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan menerapkan Standar Profesi. (3) Dalam . . . -17 - (3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan pada Standar Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan Kefarmasian dilakukan. (4) Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 36 (1) Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a merupakan pendidikan profesi setelah sarjana farmasi. (2) Pendidikan profesi Apoteker hanya dapat dilakukan pada perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan. (3) Standar pendidikan profesi Apoteker terdiri atas: a. komponen kemampuan akademik; dan b. kemampuan profesi dalam mengaplikasikan Pekerjaan Kefarmasian. (4) Standar pendidikan profesi Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dan diusulkan oleh Asosiasi di bidang pendidikan farmasi dan ditetapkan oleh Menteri. (5) Peserta pendidikan profesi Apoteker yang telah lulus pendidikan profesi Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak memperoleh ijazah Apoteker dari perguruan tinggi. Pasal 37 . . . -18 - Pasal 37 (1) Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki sertifikat kompetensi profesi. (2) Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat memperoleh sertifikat kompetensi profesi secara langsung setelah melakukan registrasi. (3) Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk setiap 5 (lima) tahun melalui uji kompetensi profesi apabila Apoteker tetap akan menjalankan Pekerjaan Kefarmasian. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara registrasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 38 (1) Standar pendidikan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku di bidang pendidikan. (2) Peserta didik Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki ijazah dari institusi pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan. (3) Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), peserta didik yang telah memiliki ijazah wajib memperoleh rekomendasi dari Apoteker yang memiliki STRA di tempat yang bersangkutan bekerja. (4) Ijazah . . . -19 - (4) Ijazah dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin kerja. Pasal 39 (1) Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi. (2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi: a. Apoteker berupa STRA; dan b. Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK. Pasal 40 (1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan: a. memiliki ijazah Apoteker; b. memiliki sertifikat kompetensi profesi; c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker; d. mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik; dan e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. (2) STRA dikeluarkan oleh Menteri. Pasal 41 . . . -20 - Pasal 41 STRA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1). Pasal 42 (1) Apoteker lulusan luar negeri yang akan menjalankan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia harus memiliki STRA setelah melakukan adaptasi pendidikan. (2) STRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1); atau b. STRA Khusus. (3) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada institusi pendidikan Apoteker di Indonesia yang terakreditasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian STRA, atau STRA Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan pelaksanaan adaptasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 43 STRA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a diberikan kepada: a. Apoteker . . . -21 - a. Apoteker warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) di Indonesia dan memiliki sertifikat kompetensi profesi; b. Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan Apoteker di Indonesia yang telah memiliki sertifikat kompetensi profesi dan telah memiliki izin tinggal tetap untuk bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian; atau c. Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan Apoteker di luar negeri dengan ketentuan: 1. telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker di Indonesia; 2. telah memiliki sertifikat kompetensi profesi; dan 3. telah memenuhi persyaratan untuk bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian. Pasal 44 STRA Khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 42 ayat (2) huruf b dapat diberikan kepada Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri dengan syarat: 1. atas permohonan dari instansi pemerintah atau swasta; 2. mendapat persetujuan Menteri; dan 3. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan kurang dari 1 (satu) tahun. Pasal 45 . . . -22 Pasal 45 (1) Penyelenggaraan adaptasi pendidikan Apoteker bagi Apoteker lulusan luar negeri dilakukan pada institusi pendidikan Apoteker di Indonesia. (2) Apoteker lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan yang berlaku dalam bidang pendidikan dan memiliki sertifikat kompetensi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi pendidikan Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pendidikan. Pasal 46 Kewajiban perpanjangan registrasi bagi Apoteker lulusan luar negeri yang akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia mengikuti ketentuan perpanjangan registrasi bagi Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41. Pasal 47 (1) Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memenuhi persyaratan: a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya; b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktek; c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja; dan d. membuat . . . -23 - d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian. (2) STRTTK dikeluarkan oleh Menteri. (3) Menteri dapat mendelegasikan pemberian STRTTK kepada pejabat kesehatan yang berwenang pada pemerintah daerah provinsi. Pasal 48 STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1). Pasal 49 STRA, STRA Khusus, dan STRTTK tidak berlaku karena: a. habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh yang bersangkutan atau tidak memenuhi persyaratan untuk diperpanjang; b. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan; c. permohonan yang bersangkutan; d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau e. dicabut oleh Menteri atau pejabat kesehatan yang berwenang. Pasal 50 (1) Apoteker yang telah memiliki STRA, atau STRA Khusus, serta Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK harus melakukan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki. (2) Tenaga . . . -24 - (2) Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK mempunyai wewenang untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian dibawah bimbingan dan pengawasan Apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 51 (1) Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit dilakukan oleh Apoteker. hanya dapat (2) Apoteker sebagaimana dimaksud wajib memiliki STRA. pada ayat (1) (3) Dalam melaksanakan tugas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Apoteker dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK. Pasal 52 (1) Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja. (2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit; b. SIPA . . . -25 - b. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai Apoteker pendamping; c. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di fasilitas kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; atau d. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Kefarmasian. Pasal 53 (1) Surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat Pekerjaan Kefarmasian dilakukan. (2) Tata cara pemberian surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 54 (1) Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. (2) Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b hanya dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. Pasal 55 (1) Untuk mendapat surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Tenaga Kefarmasian harus memiliki: a. STRA . . . -26 - a. STRA, STRA Khusus, atau STRTTK yang masih berlaku; b. tempat atau ada tempat untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian atau fasilitas kefarmasian atau Fasilitas Kesehatan yang memiliki izin; dan c. rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat. (2) Surat Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum apabila Pekerjaan Kefarmasian dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin. BAB IV DISIPLIN TENAGA KEFARMASIAN Pasal 56 Penegakkan disiplin Tenaga Kefarmasian dalam menyelenggarakan Pekerjaan Kefarmasian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 57 Pelaksanaan penegakan disiplin Tenaga Kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 58 Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya serta Organisasi Profesi membina dan mengawasi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian. Pasal 59 . . . -27 - Pasal 59 (1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diarahkan untuk: a. melindungi pasien dan masyarakat dalam hal pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian yang dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian; b. mempertahankan dan meningkatkan mutu Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat, dan Tenaga Kefarmasian. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 60 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: 1. Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan dan/atau Surat Izin Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini. 2. Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat Izin Asisten Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 61 . . . -28 - Pasal 61 Apoteker dan Asisten Apoteker yang dalam jangka waktu 2 (dua) tahun belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, maka surat izin untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian batal demi hukum. Pasal 62 Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjadi penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 63 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2752), sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3169) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1990 tentang Masa Bakti Dan Izin Kerja Apoteker (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3422), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 64 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . -29 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 September 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 September 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 124 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN I. U M U M Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceuticalcare) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medicationerror). Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah, dan belum memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah daerah sejalan dengan era otonomi. Sementara itu berbagai upaya hukum yang dengan . . . -2- dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan Tenaga Kefarmasian sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi dirasakan masih belum memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum. Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur: 1. Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian; 2. Penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan, Produksi, Distribusi, atau Penyaluran dan Pelayanan Sediaan Farmasi; 3. Tenaga Kefarmasian; 4. Disiplin Tenaga Kefarmasian; serta 5. Pembinaan dan Pengawasan; II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 . . . -3- Pasal 3 Yang dimaksud dengan : a. ”Nilai Ilmiah” adalah Pekerjaan Kefarmasian harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi. b. ”Keadilan” adalah penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau serta pelayanan yang bermutu. c. ”Kemanusiaan” adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial dan ras. d. ”Keseimbangan” adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat. e. ”Perlindungan dan keselamatan” adalah Pekerjaan Kefarmasian tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan pasien. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . -4- Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan tata cara dalam ayat ini untuk sektor pemerintah mengikuti peraturan yang berlaku. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Yang dimaksud dengan ”Cara Pembuatan Yang Baik” adalah petunjuk yang menyangkut segala aspek dalam produksi dan pengendalian mutu meliputi seluruh rangkaian pembuatan obat yang bertujuan untuk menjamin agar produk obat yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Keharusan memperbaharui Standar Prosedur Operasional dimaksudkan agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik. Pasal 12 . . . -5- Pasal 12 Kewajiban untuk melakukan pencatatan dimaksudkan sebagai alat kontrol dalam rangka pengawasan mutu Sediaan Farmasi yang disesuaikan dengan prosedur Cara Pembuatan yang Baik. Pasal 13 Kewajiban mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan disamping sebagai tuntutan etika profesi juga dalam rangka untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan “Cara Distribusi Obat Yang Baik” adalah suatu pedoman yang harus diikuti dalam pendistribusian obat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 . . . -6- Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pasien yang kurang mampu secara finansial untuk tetap dapat membeli obat dengan mutu yang baik. Huruf c Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Dalam ketentuan ini Apoteker yang mendirikan Apotek dengan modal sendiri melakukan sepenuhnya Pekerjaan Kefarmasian. Ayat (2) Dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh yang tidak memiliki kompetensi dan wewenang. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 . . . -7- Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Pemberian obat oleh dokter pada dasarnya mempunyai hubungan sangat erat dengan Pekerjaan Kefarmasian di mana obat pada dasarnya mempunyai fungsi mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan, oleh karena itu perlu dijaga kerahasiaannya dan agar tidak menimbulkan dampak negatif kepada pasien. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kendali mutu” dalam ayat ini adalah suatu sistem pemberian Pelayanan Kefarmasian yang efektif, efisien, dan berkualitas dalam memenuhi kebutuhan Pelayanan Kefarmasian. Yang . . . -8- Yang dimaksud dengan “kendali biaya” adalah Pelayanan Kefarmasian yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan didasarkan pada harga yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “audit kefarmasian” adalah upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu Pelayanan Kefarmasian yang diberikan kepada masyarakat yang dibuat oleh Organisasi Profesi atau Asosiasi Institusi Pendidikan Farmasi. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Keahlian dan kewenangan Tenaga Kefarmasian dibuktikan dengan memiliki surat izin praktik. Terhadap tenaga kesehatan di luar Tenaga Kefarmasian juga dapat diberikan kewenangan melakukan Pekerjaan Kefarmasian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . -9- Ayat (3) Standar kefarmasian pada sarana produksi adalah cara pembuatan yang baik (Good Manufacturing Practices), pada sarana distribusi adalah cara distribusi yang baik (Good Distribution Practices), dan pada sarana pelayanan adalah cara pelayanan yang baik (Good Pharmacy Practices). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sertifikat kompetensi” adalah pernyataan tertulis bahwa seseorang memiliki kompetensi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 . . . -10 - Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Adaptasi dilakukan melalui evaluasi terhadap kemampuan untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 . . . -11 - Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal Apoteker dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian, pelaksanaan pelayanan Kefarmasian tetap dilakukan oleh Apoteker dan tanggung jawab tetap berada di tangan Apoteker. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 . . . -12 Pasal 58 Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 59 Pasal 60 Pasal 61 Pasal 62 Pasal 63 Pasal 64 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5044

Tidak ada komentar:

Posting Komentar